Tuesday, November 8, 2011

Penjual Sate dan Kernet Bus

Komunikasi berdasarkan Wikipedia memiliki arti sebagai "suatu proses dalam mana seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan, dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain".[1]. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.[rujukan?] Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu.[rujukan?] Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.[2]” (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi)

Kenapa kali ini saya ingin membahas mengenai komunikasi?
Secara sederhana, komunikasi merupakan cara untuk berhubungan dengan orang lain. Lebih tepatnya komunikasi dipakai untuk bisa memenuhi kebutuhan yang bisa dipenuhi dari orang lain. Komunikasi dianggap mudah apabila hasilnya sesuai dengan yang kita harapkan.

Tetapi komunikasi dianggap gagal atau tidak berhasil apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terjadi karena proses tersebut tidak menggunakan informasi yang sesuai/benar.

Nah, soal komunikasi yang tidak sesuai. Ada dua cerita yang ingin saya bagi.

—cerita pertama—
Beberapa saat lalu sepulang dari beli sate ayam, ayah saya datang sembari menggerutu tidak jelas. Ternyata ada kejadian yang tidak mengenakkan di tempat jual sate tadi.
Inti permasalahannya sederhana, karena adanya komunikasi yang tidak tepat.

Sewaktu awal pesan sate, ayah saya bilang, “Bang, satenya yang matang ya…”

Mungkin, karena abang satenya juga lagi ‘sensi’, dibilang gitu jadi tersinggung lalu menyahut dengan agak ketus, “Pak, saya jualan sate itu sudah bertahun-tahun lamanya. Kalau saya jual satenya nggak matang, pasti udah nggak laku sejak dulu. Buktinya selama ini nggak pernah ada yang protes sate saya nggak matang.”

Karena dijudesin oleh penjual sate, ayah saya pun pulang dengan manyun dan menggerutu di jalan. Dan sampe rumah pun masih ngedumel karena diomelin tukang sate.

Kami orang rumah sudah mengerti maksud ayah saya seperti apa. Maksud sebenernya adalah minta supaya satenya di bakar lebih garing. Tapi karena proses penyampaian informasi yang diberikan tidak tepat, jadilah hasil yang diterima penjual sate pun tidak sesuai dengan yang diharapkan.


—cerita kedua—
Hari minggu kemarin tepat 6 November 2011 | hari Raya Qurban, sore harinya saya kembali ke Jakarta. Maklum saat ini saya masih jadi anggota PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Tumben-tumbennya bus Mayasari Bakti (AC43) Jurusan Cibinong-Grogol yang biasanya agak sepi, sudah full dengan penumpang dari arah Cibinong.

Setelah busnya masuk ke tol Jagorawi, kernet pun mulai meminta ongkos ke semua penumpang. Sudah menjadi kebiasaan apabila di hari raya apapun, ongkos bus yang biasanya Rp.9000,- naik menjadi Rp.10.000,-

Biasanya, kalaupun protes minta kembalian uang seribu tersebut, sang kernet berkilah ongkos khusus hari raya. Besok juga sudah normal lagi.

Dan karena ini bukan yang pertama atau kedua kalinya untuk saya, jadi saya juga nggak protes. Toh dulu kalau protes pun hanya dapet ngedumel aja.

Nah, sore itu ternyata ada seorang ibu yang protes dan minta uang kembalian tersebut. Awalnya si kernet itu masih menjawab dengan bahasa yang halus, “Hari raya, bu… Jadi ongkosnya naik.”

Yang nggak disangka, dijawab seperti itu ibu tersebut malah ngomel-ngomel, “Hari raya…hari raya… Ongkos naik gara-gara hari raya memangnya gaji ikut naik apa? Mana uang seribu saya?”

Awalnya si kernet berkilah kalau memang tidak punya kembalian uang seribu tersebut. Dan minta keikhlasan si ibu. Tetapi si ibu itu makin ngomel sejadi-jadinya. Mungkin karena malu juga, kernet tersebut langsung ngeloyor pergi minta ongkos ke penumpang lain.

Di tinggal pergi, bukannya diam ibu itu malah makin kenceng ngomelnya, “Kalau penumpang lain mungkin gak berani minta uangnya. Kalau saya mah berani. Mana uang seribu saya? Sini kembaliin. Enak aja…. Seribu kali berapa orang nih, dikali banyak kan jadi besar jumlahnya…” dan bla,,,,bla,,,bla,,,, omelan ibu itu terus nyambung panjang kayak kereta api… (tut….tut…..tut….gojes…gojes…..)

Haduhhhh…. Sore ini kuping saya full denger omelan ibu itu. Kernet yang kupingnya sudah panas pun akhirnya balas dan meminta rekan kernetnya yang di depan untuk mencari uang seribuan untuk diberikan ke ibu tersebut. Sembari meminta ongkos ke penumpang yang lain, kernet itu juga masih ngedumel, “Kalau nggak mau bayar sepuluh ribu, pake uang pas ya bapak ibu bayarnya. Saya Cuma minta keredhoan semuanya hari ini aja”

Sudah terima uang kembalian tersebut tetap saja si ibu ngedumel, terang aja kernet itu juga jadi panas lagi, “Ya udah bang (bilang ke supir bus), kalau si ibu masih gak redho juga, suruh turun aja di depan cari bus yang lain. Masih banyak penumpang lain yang mau naik bus ini”

Setelah di ancam untuk di turunin di tengah jalan tol Jagorawi, baru deh ibu itu diam.

Seandainya saja si ibu itu mau menggunakan kata-kata yang lebih baik. Mungkin uang itu kembali dengan adanya keikhlasan dari masing-masing pihak.

So, komunikasi memang terlihat simple. Tetapi hasil akhir yang dicapai bisa menjadi berantakan apabila prosesnya tidak tepat. :)

No comments:

Post a Comment

Jika berkenan tinggalin jejak yaa... Terimakasih sudah berkunjung... :)