Monday, July 9, 2012

Cinta Mati Versi Gue

Cinta mati harus dijaga sampai mati
Jangan sampai ke lain hati
Nanti jadinya patah hati
Hati-hati menjaga hati
Mata hati
(Lirik Lagu Mulan Jameela feat Mitha The Virgin “Cinta Mati II”)

Setiap orang memiliki versi masing-masing soal cinta mati dan saya juga punya versi sendiri mengenai hal ini.

Kilas balik sekitar dua minggu lalu. Saat pulang ke rumah di jumat petang itu saya mendapati rak buku di kamar sangat lenggang. Gimana nggak. Satu rak yang biasanya full oleh buku-buku yang gak jelas itu –maksudnya segala jenis buku ada disana, dari buku psikologi, buku tentang tanaman, buku motivasi dan seabrek buku lain– tiba-tiba lenyap begitu saja. Tersisa hanya debu-debu yang berserakan seperti habis ada perang dunia (lebay.com).

Nah langsung deh, pertama kali yang di interogasi tentu aja mama. Semua buku-buku di pindah ke gudang belakang. Sumpek katanya. Memang iya sih, buku-buku itu selama ini hanya jadi pajangan, sudah nggak pernah dibaca lagi. Paling jadi bahan berantakannya si bungsu Alicia. Ya sudahlah saya juga bisa apa!

Lalu, hari minggu kemarin mama minta saya untuk memindahkan Tupperware yang ada di kamar. “Yaa pindahin kemana ke’, yang jelas asingkan dari kamar”. Nyuruhnya sih nggak gitu juga, itu bahasa versi saya saja ya. Agak hiperbola dikitlah. :p

Setelah semua Tupperware saya pindahin, lanjutlah mama nyuruh buangin buku/paper/kertas-kertas yang memang sudah ada di gudang itu.

Ternyata, paper-paper serta fotocopyan bahan kuliah itu ada di rak paling atas. Pakailah acara naik-naik ke atas ember dan mindahin segambreng kertas-kertas dari atas rak. Dimulailah adegan memilah-milah kertas itu,,, *hiks…hiks…

Episode-episode jaman 2004-2008 sepintas melintas begitu saja. Memang kertas ini sisa-sisa dari masa sebelumnya yang sengaja nggak di buang.

Adegan dramatis pertama dimulai ketika saya menemukan hasil ujian materi Dasar Ilmu Tanah. Banyak coretan disana dan terpampang angka 51. Hahaha…. Episode menertawakan diri sendiri pun dimulai.

Ingatan-ingatan masa lalu terus menyeruak begitu saja. Ketika betapa susah dan seramnya menghadapi mata kuliah yang satu itu. Sampai ada tagline yang menyebutkan kalau dapat C saja sudah Alhamdulillah. Saya juga ingat gimana dulu mau ujian ini, terjaga hingga jam 12 malam lalu bangun lagi di jam 3 pagi untuk lanjut belajar. Sampai bela-belain ikut kelas tambahan demi lulus di mata kuliah ini.

Selepas dari gudang, lanjut sapu bersih berkas-berkas di kamar. Di mulailah membuka-buka kardus di kolong tempat tidur.

Arrrggghhh,,,, kardus pertama yang saya pilih isinya adalah artikel tentang tissue culture (kultur jaringan) semua. Ingat betapa susahnya dulu dapetin artikel untuk skripsi ini, hingga harus ke LIPI, perpustakaan di Bogor, hunting ke perpus departemen, pinjam ke kakak tingkat.

Dengan mata penuh lirih saya tatap kertas yang berserakan di lantai. Berat rasanya jika harus membuang semua ini. Merasa ada sebagian diri yang hilang (mulai lebay). Berat hati, akhirnya dimasukkan juga ke tumpukan kertas yang akan saya buang.

Lanjut ke kardus berikutnya. Isinya nggak terlalu berat, copy-an materi kuliah tingkat 3 semua. Budidaya buah, budidaya hortikultura, pemuliaan tanaman dan materi-materi lain. Bingung juga antara disimpan atau dibuang. Kalau di simpan, apakah suatu saat akan di pakai lagi? Kalau di buang ya masih ada perasaan sayang. Akhirnya dengan rela dibuang juga.

Kardus ketiga yang paling berat. Saat dibuka terlihatlah buku-buku tentang tissue culture, draft skripsi, bahan kolokium dan seminar skripsi, materi di laboratorium kultur jaringan, fotocopy surat keterangan lulus. Huaaaa….. benar-benar saya nggak rela.

Melintaslah pikiran ini ke masa-masa saat penelitian. Berasa tidak rela untuk membuang semuanya. Buku-buku itu saya keluarkan dari kardus lalu berserakan begitu saja. Duduk di atas lantai sambil menatap semuanya. Imaji pun menari kemasa-masa itu.

Yaaahhh,,, saya ingat bagaimana awal perjuangan dulu. Mencuci botol kultur setiap hari bareng rekan seperjuangan, Purnawati. Mencuci hingga tangan lecet merah-merah kena botol, dibarengi memakai masker untuk mengurangi bau jamur kontaminasi botol kultur. Hingga di hari kesekian kami pun terjangkit flu, mungkin efek kebanyakan menghirup jamur saat itu. Target lebih dari 1000 botol yang harus kami cuci. Hingga akhirnya menyerah dan bayar bibi lab untuk mencucikan dengan ongkos cuci 100 rupiah untuk satu botol.

Saya juga masih ingat, bagaimana kita semua menghabiskan waktu di lab itu. Berasa rumah kedua, dari pagi hingga malam ada disana. Mulai dari menimbang bahan kimia dengan ukuran milligram, menimbang gula, masak agar-agar, mencampur bahan kimia, beli akuades dari departemen tanah sambil susah payah angkut-angkut sendiri.

Masih tampak jelas juga di ingatan saya, dimana pernah sebabkan kebocoran gas di lab hingga saya sendiri takut untuk menyalakan api disana. Saya buka jendela lab lebar-lebar, yang padahal hal ini paling dilarang saat itu. Takut bahan kontaminan masuk ke lab katanya.

Dan juga masih ingat, ketika saya sebabkan laminar (alat tanam) nyaris terbakar malam itu. Karena betapa cerobohnya saya memasukkan alat tanam yang ternyata masih berapi ke dalam botol alcohol lalu dengan tidak sengaja menyenggolnya hingga tumpah.

Saya kangen kebersamaan dengan teman-teman di lab. Kebersamaan ketika mereka menemani saya menanam hingga malam, kebersamaan saat sama-sama mengukur calon tanaman-tanaman mini itu.

Saya kangen ketika jari-jemari ini lincah memotong bagian tanaman hingga ukuran terkecil lalu menanamnya di botol kultur. Memainkan pinset, scalpel, gunting. Mencium aroma alcohol, bau zat kimia, bau ruang tanam hingga enegnya bau jamur.

Betapa saya tidak ada perasaan ngeri dengan formalin saat itu, dengan bodohnya tanpa pengamanan membuka botol formalin dan menaruhnya begitu saja di ruang kultur. Sebagai salah satu perlakuan pensterilan ruangan dari kontaminan waktu itu.

Betapa senang saat melihat calon tanaman itu mulai tumbuh mengeluarkan akar, mengeluarkan tunas lalu daun. Dan akhirnya tanaman kantung semar mini itu mengeluarkan kantong-kantongnya. Puas karena hasil kerja berbulan-bulan tidak sia-sia pada akhirnya.

Betapa kesalnya ketika mendapatkan beberapa tanaman mini itu tumbuh berkembang lalu mati karena kalah oleh pertumbuhan jamur.

Betapa saya ingat menggigil di dalam ruang kultur, demi menghitung jumlah akar, tunas dan daun yang mulai tumbuh dari calon tanaman baru itu. Ingat saat saya ketakutan di dalam ruang kultur yang tiba-tiba mati lampu dan tidak ada siapa-siapa.

Ahhh, betapa senangnya ketika mengenakan baju kebanggaan itu, baju berwarna putih dan berlogokan almamater saya ‘Institut Pertanian Bogor’ dengan logo pertaniannya. Baju putih sebagai kebanggaan seorang laboran.

Tapi kemudian, lintasan ingatan itu kembali ke masa kini. Saya sadar,,, lalu tertegun. Apakah saya bisa kembali kesana? Kembali ke masa-masa itu.

Semua ini seperti memilah masa lalu, mana yang akan tetap tinggal dan mana yang akan saya lepaskan untuk hilang ditelan waktu. Yang pada akhirnya akan terkikis dari ingatan masa lalu.

Rasanya ingin sekali kembali ke dunia itu. Dunia yang benar-benar saya cintai. Dimana saya merasa passion saya ada disana. Masuk horti adalah impian yang menjadi nyata buat saya.

Ahhhh, inilah episode cinta mati buat saya. Karena selamanya saya akan terus mencintai Hortikultura… Karena disinilah saya menemukan diri saya apa adanya.

No comments:

Post a Comment

Jika berkenan tinggalin jejak yaa... Terimakasih sudah berkunjung... :)