Beneran deh, saya tidak sabar menunggu hari ini. Setelah sebelumnya di hari senin saya kena migrain yang teramat menyiksa dan bikin mood saya gak karuan. Sampai Desi pun bilang kalau saya memang sakit, gpp dia yang pergi ke tanah abang sendirian. Tapi memang niat yang sudah terucap dan keinginan yang tidak terbendung, migrain saya pun hilang di senin sore.
Hari yang ditunggu tiba. Saya dan Desi sudah janjian untuk pulang tenggo (teng langsung go) dari kantor, supaya ngejar sampe ke tanah abang secepatnya. Ternyata mendekati jam pulang, adaaa ajaaa yang di urus. Di suruh ini, di suruh itu sama si Pak Bos. *sabaaaaaaar*
Waktu itu jam sudah menunjukkan nyaris pukul 16.30 berarti udah kudu siap-siap pulang nih. Hiks…Hiks… Saya pun bbm desi untuk bilang kalau tidak bisa pulang tenggo. Ternyata eh ternyata, dia juga masih di kantor. Lagi terima telp dari Kantor Cabang, urus permasalahan suspense. Wkwkwkwk… tadinya mau bete karena ga bisa pulang cepat malah jadi ketawa-ketawa. Ternyata saya nggak sendiri.
Saya baru keluar kantor sekitar jam 17.15, langsung segera ambil langkah seribu dan bergegas ke tempat parkir dekat kosan karena sejak jam 16.00 Reza sudah ada disana. Habis itu mobil yang terparkir disana kami tinggal sebentar karena Reza belum sholat ashar.
Sekitar 10 menit kemudian, sekembalinya kami ke tempat parkir. Tau-tau mobil yang terparkir ada penyok yang luar biasa besar, kira-kira sebesar bola sepak. Penyok cembung ke arah bagian dalam. Seperti kena tabrak.
Langsung deh kita tanyain tukang parkir yang ada disana. Pengakuannya sih dia tidak melihat apapun. Jadi dia langsung ‘angkat tangan’ mengenai kejadian itu. Kesal ya memang iya, tapi mau marah juga sama siapa. Wong pelakunya saja gak tau udah melarikan diri kemana. Ya semoga sadar dan tidak mengulanginya lagi saja deh.
Habis itu kami langsung jemput Desi dan bingkisan-bingkisan yang sudah disiapkan sebelumnya. Alhamdulillah semua bingkisan tersebut muat di dalam mobil. Di kosan Desi juga sudah ada Nining dan Beny (adik-adik yang aktif di Sahabat Anak). Mereka inilah sebagai penunjuk jalan bagi kami. Selepas sholat magrib kami berangkat menuju tempat tujuan. Bismillah. Perjalanan kami pun dimulai.
Perjalanan ini juga di warnai macet. Namanya juga Jakarta hanya tidak macet kalau pas lagi lebaran aja deh. Hehehe… Kami juga menyusuri BKB (Banjir Kanal Barat).
Kami memasuki jalanan yang mulai menyempit tetapi masih dilapisi aspal. Pada saat mobil menyebrang di jalur rel kereta api, tiba-tiba ban mobil salip dan menyangkut. Sehingga kami terjebak di tengah-tengah rel.
Awalnya kami biasa saja tapi kok ya lama-lama jadi panic juga. Terlebih lagi saat Benny turun dan memanggil warga-warga yang ada disana. Beneran deh, ini sudah seperti kejadian di film-film itu, dimana ada mobil yang terjebak di tengah rel trus gak lama ada suara kereta yang akan lewat.
Semua yang ada di mobil jadi panic karena Nining juga panic, mungkin mereka panic karena tau jadwal kereta lewat itu kapan saja. Semua orang yang ada disana langsung turun tangan. Ada yang menyuruh meng-gas mobil, ada yang langsung sibuk mencari papan dan balok kayu untuk di taruh dekat ban.
Alhamdulillah ban mobil bisa terangkat dan kami keluar dari tengah rel tersebut. Dan tidak lama memang benar dong, kereta lewat. *Waaaaw* super lega rasanya. Big thanks to people there…
Perjalanan di lanjutkan dengan menyusuri rel tersebut. Terlihat di sisi kami ada bangunan-bangunan kecil yang terbuat dari kardus atau bahkan triplek sebagai dindingnya. Istana tersebut pastilah sangat berharga bagi penghuninya. Ironis yah…
Kami sampai juga di tempat tujuan. Mobil pun di parkir di pinggir jalan. Dan segera kami turunkan barang-barang bawaan tersebut.
Posisi jalan aspal berada di atas sedangkan dua buah rel kereta ada di bawah, mungkin sekitar 1.5-2 meter kedalamannya. Sehingga kamipun menuruni jembatan untuk menyebrang ke arah rel tersebut. Tidak lama satu kereta melewati kami lagi. Kami bergegas.
Disana terlihat beberapa ibu-ibu sedang duduk di teras rumah. Teras rumah ini sebenarnya tidak layak di sebut seperti itu, karena jarak mereka duduk dengan sisi rel mungkin sekitar 1 meter. Mereka duduk bersama di atas bebatuan pinggir rel, terlihat asik dengan obrolannya. Housewife time kali yah…
Kami masuk ke rumah Sahabat Anak. Yang pertama saya lihat adalah sebuah bangunan kecil yang cukup rindang di bagian depannya karena ada tanaman Alamanda yang merambat dan menaungi membentuk kanopi. Lalu di dekat pintu masuk ada sebuah tulisan yang cukup menggelitik bagi saya. “Disini semua harus tersenyum”
Dan di dalam ruangan tersebut, sudah berkumpul anak-anak. Bocah-bocah cilik yang mungkin berumur sekitar 6-9 tahunan dan beberapa yang berumur sekitar 12-15 tahunan. Ribut, ramai dan berisik tentunya. Tapi entahlah, tidak ada rasa risih, sebal atau apapun yang biasanya saya rasakan kalau di rumah lagi banyak bocah-bocah.
Senyum di bibir ini langsung terkembang. Seru dan entah berjuta perasaan lain yang tidak bisa saya lukiskan. Kerasnya hidup bagi anak-anak kecil ini tidak menyurutkan mereka untuk tetap tersenyum. Seolah tidak ada beban untuk memanggul beratnya hidup di Jakarta. Ya Allah, sungguh saya merasa malu malam ini. Merasa di telanjangi oleh mereka. Malu karena masih sering mengeluh akan hidup ini.
Setelah mengenalkan diri dan duduk berbaur, sebagian dari mereka langsung mengeroyok saya. Duduk di sebelah saya, berebutan menarik-narik tangan saya, menarik kaki saya, menarik sweater saya, dan ada pula yang tiba-tiba mendekat dan berbisik di telinga.
“Kak, putra masih ngompol lho,” sembari menunjuk ke salah seorang anak cowo.
“Kak, dea suka ngomong jorok jangan di deketin,” ada pula yang tiba-tiba berbisik begitu.
Saya tersenyum dan mengusap kepala mereka. Lucu jadinya. Lucu, gemas, kasian atau entah perasaan apalagi yang ada saat itu. Saya berusaha meladeni segala celotehan mereka satu per satu.
Lalu tiba-tiba ada yang menarik telapak kaki saya dan mencoba untuk menggelitik. Ada juga yang menarik jari-jemari saya lalu menyentil dan menanyakan apakah saya kesakitan. Lucu deh segala tingkah polah mereka.
Ada juga yang tiba-tiba membandingkan warna kulit punggung tangannya dengan tangan saya, “Kak kok kulit kakak putih kalau saya hitam?” sambil dengan raut wajah yang cemberut. Seolah dia kecewa karena memiliki warna kulit yang gelap.
Ada pula yang menanyakan kenapa telapak tangan saya berwarna kemerah-merahan. Aneh-aneh deh pertanyaan mereka. Pertanyaan polos dan serba tak terduga. Sampai nama adik, bapak dan ibu saya juga ditanyakan.
Setelah itu pembagian bingkisan yang kami bawa pun di mulai. Dan pesan yang disampaikan Nining yang unik bagi saya adalah, “Adik-adik bingkisannya di bawa pulang ya. Dan ingat tidak boleh di jual, tapi harus dipakai”
Saya tertawa dengar pesan Nining itu, lalu Desi menjelaskan kalau pernah ada kejadian diberi bingkisan seperti itu lalu mereka jual kembali. Masya Allah, miris dengarnya. Sebegitu pentingnya nominal uang bagi mereka, sedang saya kadang masih bisa membuang uang dengan memboroskannya pada hal yang kadang tidak begitu berguna.
Wajah-wajah kecil itu begitu ceria dan senang ketika pulang membawa bingkisan. Pulang dengan langkah girang beranjak ke rumah masing-masing. Mungkin salah satu dari mereka ini ada yang pernah saya temui di salah satu sudut jalanan ibu kota. Pernah mengecrekkan dan menyanyikan lagu seraya meminta uang sebagai upahnya mengamen. Entahlah… itu bisa saja. Bisa saja salah satu dari mereka pernah saya jumpai lalu saya beri angka lima seraya mengucapkan maaf.
Rasanya senang melihat senyum terkembang di wajah mereka. Bocah kecil itu dengan dua tangannya membawa bingkisan yang rasanya lebih berat dari yang dia bisa. Tapi biarlah, biar malam ini dia menikmati senyum tersebut.
Selama kurang lebih 2 jam kami di dalam ruang tersebut, setiap beberapa saat kereta lewat. Sepertinya jadwal kereta melintas di daerah ini cukup sering. Begitu terasa suara dan getarannya pada kami yang ada di ruangan.
Setelah anak-anak itu kembali ke rumahnya masing-masing, kami pun melangkahkan kaki untuk beranjak keluar. Di depan teras rumah langsung bebatuan khas pinggir rel kereta. Langit malam ini cerah, terang oleh cahaya gedung-gedung pencakar langit Jakarta di sekelilingnya.
Rasanya begitu ironis. Di belakang gedung-gedung tinggi itu dimana kemewahan dan kesombongan begitu congak, ada banyak anak-anak kecil berlarian di kawasan tidak aman seperti ini. Bocah-bocah yang memiliki mimpi dan harapan yang mungkin sama tinggi dengan mereka yang ada disana.
Kami segera naik ke jalan aspal. Lalu terdengar lagi suara kereta akan lewat. Terlihat sebuah kereta melintas di belakang rumah singgah tadi. MasyaAllah… Sungguh saya kaget. Ternyata rumah yang tadi saya masuki benar-benar di apit oleh 2 buah jalur rel.
Ya… Rumah tadi bukan hanya berada di pinggir rel kereta api, tetapi tepat berada di tengah-tengah dua buah jalur rel kereta api. Tidak terbayang keadaannya jika ada disana saat siang hari. Pasti ada rasa menakutkannya.
Malam ini saya merasa bersyukur. Bersyukur dengan kehidupan yang saat ini saya miliki, bersyukur memiliki keluarga, pekerjaan, tempat bernaung, makanan, pakaian dan segala kecukupan yang masih saya miliki. MasyaAllah… dan semoga mereka segera mendapat kehidupan yang jauh lebih baik dari saat ini.
No comments:
Post a Comment
Jika berkenan tinggalin jejak yaa... Terimakasih sudah berkunjung... :)